
Jakarta, MimbarKieraha.com - Ketua Dewan Pers, Prof. Komarudin Hidayat, tampil penuh semangat dalam acara silaturahmi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Meski baru tiga bulan menjabat, ia mengaku sudah akrab dengan dinamika organisasi wartawan terbesar di Tanah Air tersebut, termasuk kisah “matahari kembar” atau dualisme kepemimpinan yang sempat mencuat.
“Kalau kembar bisa saja semakin terang, tapi kalau bertabrakan justru tidak akan memancarkan sinar ke mana-mana,” ucap Prof. Komarudin, disambut tawa sekaligus tepuk tangan hadirin.
Dalam sambutannya, Prof. Komarudin menggambarkan PWI sebagai organisasi besar yang punya peran istimewa di mata publik. Bahkan, menurutnya, PWI kerap lebih populer dibanding Dewan Pers itu sendiri.
“Kalau dianalogikan seperti MUI, PWI itu ormas besar, mirip NU atau Muhammadiyah. Kalau dianalogikan partai, PWI adalah partai besar. Saking populernya, kadang masyarakat lebih mengenal PWI daripada Dewan Pers,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan, sejak masa perjuangan, pers punya peran vital dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. “Kalau saat itu berita dan informasi para wartawan tidak kuat, mungkin nasib bangsa ini masih ditentukan oleh sekutu,” tambahnya.
Lebih jauh, Prof. Komarudin mengurai betapa dahsyatnya pengaruh kata-kata dalam perjalanan umat manusia. Ia mengaitkan peran wartawan dengan juru berita dalam tradisi agama. “Dalam bahasa Arab, Nabi berarti juru berita, pembawa pesan otentik dari Tuhan. Tapi ada juga nabi palsu yang menyampaikan berita hoaks. Begitu juga pers, harus menjaga otentisitas berita,” tegasnya.
Baginya, PWI harus berdiri di garda terdepan dalam menjaga kualitas informasi. Dunia bisa damai atau perang, katanya, sangat bergantung pada news maker. “Peperangan adalah kegagalan diplomasi kata-kata. Bahkan demonstrasi yang akhir-akhir ini terjadi di Jakarta dan menyebar ke berbagai daerah pun berawal dari kata-kata yang viral di media sosial,” jelasnya.
Prof. Komarudin juga mengingatkan bahwa kebutuhan manusia akan informasi kini sama pentingnya dengan kebutuhan makan dan minum. Bedanya, informasi yang salah bisa jauh lebih berbahaya.
“Kalau kita makan yang tidak sehat, tubuh jadi sakit. Begitu juga ketika menerima informasi yang salah, masyarakat bisa ‘sakit’. Dan tanggung jawab wartawan dalam hal ini sungguh besar,” ucapnya.
Meski Indonesia kerap diprediksi akan bubar seperti Yugoslavia atau Uni Soviet, kenyataannya bangsa ini tetap berdiri kokoh hingga hari ini. Menurut Prof. Komarudin, salah satunya karena peran pers dalam menjaga persatuan.
“Inilah panggilan moral bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama wartawan, untuk terus menjaga NKRI,” pesannya.
Di akhir sambutannya, Prof. Komarudin mengajak insan pers melihat konflik internal yang pernah melanda PWI sebagai bagian dari sejarah yang tak perlu ulang.
“Anggap saja itu keisengan sejarah. Ke depan mari kita satukan barisan. Tugas pers bukan sekadar menulis berita, tapi membangun peradaban. Dan PWI harus berada di depan,” pungkasnya. (*)
Social Footer