Breaking News

Tradisi Coka Iba di Gamrange: Perlawanan Kultural atas Lupa Jati Diri Islam dan Akulturasi Sakral 99 Asmaul Husna.

Coka Iba Yai, Dari Patani

Halteng, MimbarKieraha.Com - Di tengah arus modernisasi yang kian deras, sebuah tradisi tua dari tiga negeri—Weda, Patani, dan Maba—masih bertahan sebagai simbol perlawanan atas pelupaan jati diri Islam masyarakat setempat. Tradisi itu dikenal dengan nama Coka Iba, warisan budaya yang lahir dari filosofi “Gamrange” dan hanya dilaksanakan pada 12 Rabi’ul Awal, bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ritual ini dimulai pada malam hari dengan pembacaan puji-pujian, Barzanji, dzikir, dan doa-doa yang dipimpin oleh tokoh adat serta agama. Pagi harinya, para penari mengenakan topeng menyeramkan yang melambangkan jin atau setan. Mereka berpakaian serba putih, membawa rotan, dan berkeliling kampung. Warga yang masih berada di luar rumah akan dikejar, dimarahi, bahkan dicambuk ringan sebagai simbol teguran agar segera kembali ke rumah dan turut serta dalam ibadah.

Makna simbolik dari topeng-topeng tersebut tak sekadar menakutkan. Mereka mencerminkan empat elemen alam—tanah, angin, api, dan air—sebagai ungkapan kegembiraan seluruh ciptaan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Lebih jauh, topeng-topeng itu diyakini mewakili 99 pasukan, yang melambangkan 99 Asma’ul Husna, nama-nama Allah yang agung.

Bagi masyarakat Gamrange, Coka Iba adalah lebih dari sekadar ritual tahunan. Ia adalah pengingat spiritual dan sosial, sebuah ruang di mana nilai Islam bertemu dengan adat lokal, melahirkan akulturasi yang harmonis. Di satu sisi, ia memelihara semangat religius, di sisi lain ia mengikat solidaritas sosial, memastikan setiap anggota masyarakat terlibat dalam peringatan Maulid.

Coka Iba Gome

Meski sejumlah elemen ritual lama telah disederhanakan, esensi Coka Iba tetap hidup. Generasi muda diajak untuk memahami bahwa simbol-simbol ini bukan sekadar tontonan, tetapi pesan moral tentang ketaatan, kebersamaan, dan kesadaran diri sebagai umat Islam yang tak boleh tercerabut dari akar budaya.

Keberlangsungan tradisi ini menjadi tantangan tersendiri di era modern. Sebagian pihak menilainya sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dilestarikan, sementara lainnya mengkritisi penggunaan simbol menyeramkan yang dianggap bertentangan dengan nuansa keagamaan. Namun, masyarakat Gamrange tetap teguh. Bagi mereka, Coka Iba adalah saksi sejarah yang tak boleh hilang, karena ia menegaskan identitas kolektif yang terjalin antara agama dan budaya.

Tokoh adat setempat menegaskan, “Tradisi ini bukan untuk menakuti, tapi mengingatkan. Setiap rotan yang diayunkan adalah pesan moral, bahwa kita tak boleh lalai dari peringatan Maulid Nabi. Jika tradisi ini hilang, sebagian jati diri kita ikut hilang.”


Penulis : Lulun Ambarak Isuruang (GOALUN)

Editor : Kapita Canga

Iklan Disini

Masukan Kata yang mau dicari

Close