
Weda, MimbarKieraha.com - Proyek peningkatan jalan Siff–Palo, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, tahun anggaran 2023, kini disorot keras. Proyek senilai Rp11,04 miliar yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Afirmasi itu diduga bermasalah dan mangkrak tanpa penyelesaian hingga batas waktu berakhir.
Ketua Lembaga Pengawasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (LPP Tipikor) Halteng, Fandi Rizki Asyari, menegaskan aparat penegak hukum tak bisa lagi berdiam diri. Ia mendesak Polda Maluku Utara segera meningkatkan status hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat, termasuk saudara AJ, yang diduga menjadi aktor di balik sejumlah proyek bermasalah di Halteng.
“Proyek jalan Siff–Palo yang dikerjakan CV Bintang Pratama adalah contoh nyata. Berdasarkan hasil audit BPK Nomor 17.A/LHP/XIX.TER/5/2024, proyek ini tidak diselesaikan sesuai kontrak dan terindikasi kuat merugikan keuangan negara,” ujar Fandi Rizki kepada wartawan, Rabu (8/10/2025).
Proyek tersebut tercatat berdasarkan kontrak Nomor: 600/02/SPP/BM-JLN/DAK/DPUR-HT/IV/2023. Namun hingga April 2024, progres fisik baru mencapai 61,04 persen atau sekitar Rp6,73 miliar. Sementara 38,96 persen pekerjaan tidak dikerjakan meskipun tahun anggaran telah berakhir.
Pemeriksaan lapangan yang dilakukan BPK bersama PPTK dan Inspektorat Halteng pada 23 April 2024 bahkan menemukan tidak ada aktivitas sama sekali di lokasi proyek. Fakta ini memperkuat dugaan adanya penyimpangan serius dalam pelaksanaan pekerjaan.

“Ini bukan lagi sekadar kelalaian, tapi sudah mengarah pada tindak pidana korupsi. Uang negara hilang, jalan tidak selesai, masyarakat yang dirugikan. Kami tidak akan berhenti mendorong agar kasus ini segera diusut tuntas,” tegas Fandi.
Ia juga menilai bahwa tindakan kontraktor dan pejabat terkait telah melanggar Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, khususnya Pasal 78 ayat (3) dan (5) huruf c dan d yang mengatur sanksi terhadap penyedia barang/jasa yang wanprestasi.
Menurut LPP Tipikor Halteng, lambannya penanganan hukum terhadap kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan dana afirmasi di daerah tertinggal. Dana yang seharusnya mendorong pembangunan justru dijadikan ladang bancakan oleh oknum tak bertanggung jawab.
“Polda harus tegas. Ini bukan sekadar proyek mangkrak, tapi bentuk nyata bobroknya tata kelola keuangan daerah. Kalau dibiarkan, praktik seperti ini akan menjadi penyakit kronis di tubuh pemerintahan,” tutup Fandi Rizki dengan nada geram.
NIA AIRA/ Biro Halteng
Social Footer