Breaking News

OPINI [ Di Balik Dana Milyaran, Tersimpan Kemiskinan Kejujuran ]

MimbarKieraha.com — Dulu, ketika desa belum mengenal istilah dana desa, kehidupan berjalan apa adanya namun penuh makna. Pembangunan dilakukan dengan gotong royong, jalan dibuka dengan tenaga warga, dan musyawarah di bawah pohon menjadi ruang keputusan yang dihormati, Senin 20/10.

Kepala desa kala itu bukan hanya pemimpin, tetapi guru - tempat bertanya, tempat berkeluh kesah, dan panutan yang dihargai karena ketulusannya, bukan karena jabatan atau kekuasaan.

Kini, setelah dana desa mengalir dengan nilai ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap tahun, suasana berubah. Papan proyek berdiri di mana-mana, tapi semangat kebersamaan yang dulu hidup di antara warga mulai memudar. Uang datang membawa pembangunan, tapi juga membawa jarak antara pemimpin dan rakyatnya.

Yang lebih memprihatinkan, dana desa yang seharusnya menjadi berkah kini justru menjadi ujian kejujuran. Sebagian kepala desa mulai kehilangan arah. Mereka yang dulu dihormati sebagai tokoh berpendidikan dan panutan masyarakat kini terperangkap dalam lingkaran kepentingan dan keserakahan. 

Jabatan yang dulu mulia kini berubah menjadi alat untuk mengatur proyek dan menguasai anggaran. Kepala desa yang dulunya dekat dengan rakyat, kini justru menjauh dari rakyat.

Lebih mengejutkan lagi, sebagian kepala desa kini hanya piawai menampilkan paparan program dalam baliho dan spanduk besar, namun tanpa realisasi di lapangan. Program yang dianggarkan hingga ratusan juta rupiah. 

Anggaran tersebut hanya menjadi tulisan manis di papan informasi, tanpa bukti nyata yang bisa disentuh masyarakat. Pembangunan berubah menjadi pencitraan, dan baliho menjadi selimut yang menutupi kegagalan moral.

Dan ketika masyarakat mencoba bertanya - menuntut transparansi, menanyakan ke mana dana itu mengalir - jawaban yang mereka terima justru menyakitkan: “Kalian tidak punya kewenangan, kalian bukan inspektorat atau tim pengaudit”.

Sebuah kalimat yang sederhana, tapi penuh luka. Seolah rakyat tak punya hak atas uang yang berasal dari kepercayaan dan keringat mereka sendiri. Ironis, karena yang mereka minta bukan kekuasaan, melainkan kejujuran. Mereka bukan ingin mengaudit, hanya ingin memastikan bahwa janji pembangunan tidak berhenti di kertas laporan.

Padahal, andaikan dana desa yang bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah itu benar-benar dipergunakan sebagaimana mestinya, dengan niat tulus dan pengelolaan yang jujur, maka desa-desa di negeri ini tak akan lagi bergantung pada bantuan pemerintah daerah. 

Desa akan berdiri dengan kekuatannya sendiri - membangun jalan, memberdayakan rakyat, dan menciptakan peluang kerja dari tanah mereka sendiri. Tapi kenyataannya, semakin besar dana yang turun, semakin besar pula potensi penyimpangannya.

Kepala desa dahulu tak punya dana besar, tapi mereka punya hati yang besar. Mereka tidak kaya, tapi mereka jujur. Kini, sebaliknya, banyak yang bergelimang fasilitas namun miskin empati. 

Rakyat bukan lagi merasa dipimpin, melainkan ditundukkan. Sementara mereka yang mestinya melayani, justru sibuk menjaga kepentingan pribadi di balik administrasi yang rapi tapi kosong makna.

Desa hari ini tidak kekurangan dana - yang hilang adalah rasa malu, rasa tanggung jawab, dan keikhlasan hati.

Dan tanpa tiga hal itu, setiap rupiah dana desa hanya akan menjadi catatan angka di laporan keuangan, bukan perubahan nyata di kehidupan masyarakat.


Penulis : YUSRI SAID

Iklan Disini

Masukan Kata yang mau dicari

Close