Breaking News

Senayan Diterpa Badai Suap: Fithrat Irfan Ungkap Jual Beli Jabatan 95 Senator DPD, Elit Parlemen Terseret!

Sidang Umum DPD RI

Jakarta, MimbarKieraha.com - Aroma busuk politik kembali menyeruak dari Gedung Parlemen Senayan. Aktivis nasional Muhammad Fithrat Irfan mengguncang publik lewat pengakuannya yang menuding adanya suap massal terhadap 95 senator DPD RI dalam proses pemilihan Wakil Ketua MPR unsur DPD.

Fithrat menyebut keterlibatan langsung Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, serta Abcandra Muhammad Akbar Supratman, putra sang menteri. Ia menilai praktik itu bukan sekadar pelanggaran etika, tapi kejahatan politik yang menginjak martabat lembaga negara.

“Saya menyaksikan sendiri bagaimana jabatan dijual dengan uang dolar. Ini bukan politik, ini pengkhianatan terhadap rakyat,” ujar Fithrat lantang dalam pernyataannya, Minggu (16/8/2025).

Transaksi Dolar di Toilet Parlemen

Fithrat membeberkan modus memalukan yang disebutnya terjadi di Gedung Nusantara V. Ia menuturkan, sejumlah senator menerima uang dalam bentuk dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat agar mendukung calon tertentu. Bahkan, transaksi dilakukan secara sembunyi-sembunyi di toilet parlemen demi menghindari sorotan publik.

Ia menuduh Sufmi Dasco dan Supratman Andi Agtas mengendalikan penuh jalannya pemilihan agar posisi Wakil Ketua MPR jatuh ke tangan Abcandra. “Saya melihat Abcandra sendiri melakukan video call dengan Dasco saat pembagian uang berlangsung,” bebernya.

Skandal Politik yang Menggerus Kepercayaan Publik

Menurut Fithrat, kasus ini lebih memalukan dibanding dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan tokoh-tokoh partai besar. Ia menilai praktik jual beli jabatan di tubuh DPD adalah bukti nyata bahwa demokrasi sedang dikuasai kepentingan elit.

“Hukum bukan lagi panglima, tapi alat untuk mengamankan kepentingan politik. Aktivis dikriminalisasi, sementara pejabat yang korup justru dilindungi,” katanya tajam.

Ancaman dan Tekanan dari Kekuasaan

Fithrat mengaku mendapat tekanan dari berbagai pihak agar diam. Beberapa oknum dari Kemenkumham, aparat keamanan, hingga perwira tinggi Polri disebut menekannya untuk menghentikan pengungkapan kasus ini. Namun ia menolak tunduk.

“Saya tantang Dasco dan Supratman bersumpah di atas Al-Qur’an kalau mereka bersih. Jika saya dikriminalisasi setelah ini, biar rakyat yang menilai siapa sebenarnya pengkhianat bangsa,” ujarnya.

Kontras dengan Amanat Presiden Prabowo

Pernyataan Fithrat ini kontras dengan pesan Presiden Prabowo Subianto dalam arahannya pada 2 Juni 2025, yang menekankan pentingnya integritas pejabat publik:
“Setiap rupiah yang berasal dari rakyat harus kembali kepada rakyat. Siapa pun yang mempermainkan uang negara, sama saja mengkhianati Pancasila.”

Namun di balik seruan moral itu, tudingan terhadap 95 senator justru mencoreng semangat antikorupsi dan menodai kepercayaan publik terhadap parlemen.

Skandal yang Menabrak Hukum dan Konstitusi

Skandal ini jelas melanggar sejumlah aturan hukum dan etika:

  • UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum.

  • Pasal 22E UUD 1945: Pemilu dan pemilihan pejabat publik harus jujur dan adil.

  • UU No. 17 Tahun 2014 (MD3): Melarang segala bentuk suap dalam pemilihan pimpinan lembaga.

  • UU Tipikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001):

    • Pasal 5 & 6: Pidana bagi pemberi suap hingga 5 tahun.

    • Pasal 12B: Gratifikasi yang tak dilaporkan dapat dipidana hingga 20 tahun.

Dengan dasar ini, Fithrat menilai apa yang terjadi bukan sekadar pelanggaran etika politik, melainkan kejahatan konstitusional yang melemahkan demokrasi.

Desakan Investigasi Nasional

Fithrat mendesak KPK, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) segera membentuk tim investigasi khusus untuk memeriksa seluruh senator yang disebut dalam kasus ini.

“Jika 95 orang senator benar menerima suap, itu artinya separuh suara DPD sudah dibeli. Dan kalau suara rakyat bisa dibeli, maka Indonesia sedang menuju kehancuran demokrasi,” tegasnya.

Pernyataan berani Fithrat Irfan kini menjadi sorotan publik dan ujian besar bagi lembaga penegak hukum. Bila tudingan ini terbukti, maka skandal ini berpotensi menjadi salah satu kasus politik terbesar pascareformasi, di mana harga sebuah jabatan lebih mahal dari nilai kehormatan bangsa.

Redaksi Parlemen

Iklan Disini

Masukan Kata yang mau dicari

Close